Seketika itu juga air mataku
menetes seolah tak percaya apa yang baru saja terucap dari telepon beberapa
detik yang lalu.
Sesosok gadis jelita yang tak hanya
memiliki keanggunan diri namun juga keanggunan jiwa kini terbaring di rumah
sakit. Ya, gadis yang dengan ketangguhannya ia selalu bersabar dan qonaah, kini
menjadi lemas tak berdaya ditemani infus ditangannya.
Sudah beberapa bulan terakhir ia
memang sedang sakit, namun bukan Zahra namanya kalau bukan gadis tangguh.
Seorang sahabat yang selalu disampingku, lebih dari sahabat ia sudah kuanggap
seperti ‘mbak’ ku sendiri. Seseorang yang indah akhlaknya, luhur pekertinya
serta pandai ilmunya, selalu menjadi inspirasi dalam kehidupanku. Yang membuat
kini aku mulai belajar meninggalkan kejahiliahanku, yang selalu menuntunku
untuk berani mengadu pada-Nya dan yang selalu memberiku kata ‘semangat’ tiap
paginya, ia kini sedang beradu dengan sakit.
Tak kuasa aku
menahan sakit di kalbu, tubuhku langsung berlari menuju rumah sakit tempat
Zahra dirawat. Kulihat ia sedang tertidur sangat pulas, air mataku semakin tak
kuasa membasahi pipi. Masih terngiang di telingaku perkataan dokter beberapa
menit yang lalu yang menambah perih dan sesak.
‘saudari
Zahra mengalami koma sejak pagi tadi saat dibawa kesini’ ucap dokter seraya
merasa kasihan melihat sembab mataku.
Disisi
kanan, di kursi tunggu depan kamar Zahra dirawat, ayah Zahra mencoba
menenangkan istrinya yang terus menangis.
Zahra
memang tak menceritakan mendalam tentang sakitnya, ia hanya menceritakan kalau
sakit, tapi ia tak pernah bilang bahwa sakitnya terus berkelanjutan. Sempat terlintas
di benakku.
‘kasihan ayah bunda rin, merawatku
sekian lama, kini aku udah dewasa, insyaAllah bisa merawat diri’ oh.. seberapa
kuatnya dirimu sahabatku, kuat menopang rasa sakit demi tak memberikan sakit
pada ayah bundamu.
Lalu, sekarang dalam tidurmu itu
tersirat wajahmu penuh ikhlas menerima apa yang menjadi kehendak-Nya, sekalipun
fisikmu kini ikut terbaring sementara. Tubuhmu yang semakin kurus, membuatku
tak tega tuk melangkahkan kaki keluar rumah sakit ini. Bahkan tanganku pun
sesekali hanya menuju kearah tanganmu, inginku genggam tangan lemasmu, inginku
memberikan kehangatan sebisaku, namun dari kejauhanlah yang aku bisa. Rasa..
dan rasa yang rindu akan sentuhanmu sebagaimana kau dulu mengenggam erat
tanganku saat ku menangis. Tak lihatkah engkau ra? air mataku dengan derasnya
mengalir melihat kau saat ini. Tak terlihatkah pula, ayah bundamu kini hanya mengharap
senyummu?
Di sudut kaca ini, dengan dada yang
terlalu sesak hingga tak keluar satupun kata dari bibirku, hanya perasaan yang
menghadap pada Tuhan penuh harap.
Hanya untaian doa dariku, ‘Ya
Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Apa yang bisa hambamu ini
perbuat? Apa yang bisa hamba berikan padanya?. Ya Rabb, izinkanlah aku memohon
padamu, izinkanlah seuntai kata ini dapat membantunya, izinkanlah doaku ini
Engkau ijabah. Karena hanya dengan izinmu dan rahmatmu hamba mampu tuk meminta.
Berikanlah ia kemudahan dalam menjalani kehidupannya saat ini, angkatlah
penyakitnya Ya Rabb.. Izinkanlah penyakitnya dapat menghapus dosa-dosanya. Sembuhkanlah
ia sehingga manfaat akan terus ia tebarkan, menegakkan kalimatMu akan terus ia
lakukan, dan terus membimbingku untuk meningkatkan cintaku padaMu.’
Aku hanya terus bersembunyi dibalik
kaca pintu ini, menunggu dan menunggu semampuku, berharap gadis tangguh disana
kan merasakan kehadiranku, berharap pula Allah Yang Kuasa membangunkannya
kembali. Lirihku terucap, “Zahra, kuat yaa.. Ririn akan berdoa terus buat
Zahra. Allah baik kok, Allah pasti kan sembuhkanmu.. Bersabarlah wahai sahabat
perjuanganku.”